Soal Amandemen UUD 1945, Demokrat Keluarkan Tiga Sikap Politik

JAKARTA, MORALRIAU.COM – Partai Demokrat mengeluarkan tiga pernyataan sikap mengenai polemik amandemen UUD 1945. Dari mulai soal penambahan masa jabatan presiden hingga kepala negara dipilih oleh MPR.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat Hinca Pandjaitan mengatakan, partainya meyakini demokrasi yang ada saat ini adalah jalan terbaik. Termasuk pemilihan presiden dan pilkada langsung, karena publik bisa terlibat.

Hinca juga menegaskan, Partai Demokrat berikrar untuk selalu setia menghormati dan membela kedaulatan rakyat. Karena itu bukanlah pemberian negara yang bisa sewaktu-waktu dicabut oleh suatu pemerintahan.

“Hak-hak kedaulatan rakyat yang telah diakui dan dijamin konstitusi justru menimbulkan kewajiban pada negara untuk melindungi dan memenuhinya,” ujar Hinca dalam keterangan tertulis yang diterima JawaPos.com, Senin (2/11).

Karena itu, lanjut Hinca, Partai Demokrat mengeluarkan tiga poin sikap resmi. Pertamaadalah menolak pemilihan presiden oleh MPR. Karena hal tersebut mempakan pengkhianatan terhadap kehendak rakyat yang ingin memilih langsung presidennya.

“Pemilihan presiden oleh MPR jelas merupakan kemunduran demokrasi dan melukai serta menyakiti rakyat,” paparnya.

Hinca juga menegaskan, pilpres secara Iangsung oleh rakyat itu adalah konsensus bangsa untuk tidak mengulangi lagi sejarah kelam kehidupan bangsa dan negara pada masa lalu.

Kedua, Partai Demokrat ‎menolak pemillhan kepala daerah (Pilkada) baik pemlihan bupati, wali kota secara tidak langsung oleh DPRD. Karena masyarakat di daerah juga memiliki hak untuk memilih secara Iangsung pemimpin di daerahnya. Termasuk ikut serta menentukan dan merencanakan masa depan daerahnya.

Ketiga, Partai Demokrat menolak perpanjangan masa jabatan kepala negara menjadi tiga periode. Hinca mengatakan, belajar dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia, dua kali mesa jabatan Presiden adalah yang paling tepat dan dinilai cukup. Hal ini juga berlaku di banyak negara demokrasi lainnya di dunia.

“Kekuasaan Presiden yang terlalu lama di tangan satu orang cenderung untuk disalahgunakan (abuse of power),” pungkasnya.

Sekadar informasi, Fraksi Nasdem adalah parpol yang pertama kali mengusulkan penambahan jabatan Presiden Indonesia menjadi tiga periode. Padahal saat ini hanya dibatasi dua periode.

Sementara, Ketua DPP ‎PSI Tsamara Amany mengusulkan, tujuh tahun masa Presiden Indonesia. Berikut juga jabatan itu hanyalah satu periode. Sehingga tidak ada lagi jabatan dua periode.

Menurut Tsamara‎, jika Presiden Indonesia jabatannya tujuh tahun, maka akan fokus bekerja maksimal mungkin. Termasuk juga fokus bekerja untuk rakyat Indonesia dan tak memikirkan pemilu berikutnya.‎

Kemudian tak berselang lama, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj mengeluarkan sikapnya yang mengusulkan supaya pemilihan presiden dikembalikan lewat MPR seperti era Orde Baru silam.

Said mengatakan, keputusan tersebut berdasarkan pada musyawarah nasional (munas) Nahdlatul Ulama 2012 silam di Cirebon. Sehingga PBNU mengusulkan pemilihan presiden dikembalikan ke MPR. Bukan lagi mekanisme pemilihan langsung seper‎ti yang dilakukan saat ini.

Said mengatakan, usulan itu bukan tanpa alasan. Melaikan para kiai telah melihat dampak negatif dan positif. Nah, kebetulan lebih banyak negatifnya. Misalnya saja dengan berbiaya besar. Misalnya masalah biaya yang sangat besar untuk dikeluarkan. (*)

 

 

 

 

Komentar