Jika Poin Usulan Revisi UU Disetujui, KPK Cuma seperti Lembaga Kajian

JAKARTA, MORALRIAU.COM – Masa depan pemberantasan korupsi dipertaruhkan dalam revisi UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, lembaga antirasuah terancam tidak sekuat seperti selama ini. Gelombang penolakan atas perubahan undang-undang itu pun semakin kencang.

Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar mengatakan, poin-poin usulan revisi UU KPK akan sangat mengubah lembaga tersebut. ”Jauh dari kata kuat seperti dulu,” kata dia setelah seminar advokasi hukum di kantor PWM Jatim kemarin (14/9).

Haris bahkan menyebutkan bahwa KPK hanya bakal menjadi lembaga kajian. ”Bukan lagi ujung tombak melawan korupsi,” tegasnya, seperti dimuat jawapos.

Dia mengkritik keras pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, yang dinilai tidak benar-benar berpihak pada perlawanan terhadap korupsi. Empat poin usulan revisi yang ditolak juga disebut tidak seklir surat presiden. Haris beranggapan, orang nomor satu di Indonesia itu setengah hati melawan korupsi.

Apalagi, dengan terpilihnya Firli Bahuri sebagai ketua KPK, menurut Haris, itu merupakan kesalahan yang didesain sejak awal. Dia tidak habis pikir dengan prosedur dalam penjaringan pimpinan KPK. Hingga saat ini, Firli masih berstatus anggota Polri aktif. ”KPK itu didirikan salah satunya untuk menangani korupsi di institusi. Yang mana bukan tidak mungkin ada di tubuh Polri,” ujar peraih gelar MA dalam bidang HAM di University of Essex, Inggris, itu.

Karir Firli di KPK, lanjut dia, juga tidak bisa dibilang baik. Integritasnya dipertanyakan karena pernah melakukan pelanggaran kode etik kategori berat. ”Ditambah nanti ada beberapa aturan dalam UU KPK yang dikebiri, ya sudah, makin tidak ada pentingnya KPK,” katanya.

Di tempat yang sama, mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas menilai, apa yang terjadi pada KPK saat ini bukan lagi bentuk pelemahan. Melainkan sudah mengarah pada pembunuhan. Menurut dia, presiden seharusnya menolak usulan pasal revisi yang diajukan DPR. Namun, ternyata ada tiga poin yang disetujui. ”Jika diteliti lagi, dampaknya sangat fatal. KPK dibunuh secara smooth. Pakai kursi listrik. Lama-lama mati,” kata ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM itu.

Penolakan keras atas revisi UU KPK juga datang dari keluarga Gus Dur. Alissa Wahid, putri sulung Gus Dur, yakin revisi tersebut bertujuan melemahkan. ’’Indikasi itu jelas sekali,” kata Alissa kepada Jawa Pos.

Menurut dia, beberapa indikasi mengarah pada pelemahan KPK. Di antaranya, revisi tersebut dilakukan tiba-tiba. Usulan revisi UU KPK memang muncul tiga minggu menjelang berakhirnya masa jabatan DPR periode 2014–2019. Apalagi, revisi tersebut tidak dimasukkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. ’’Tidak melalui pembahasan yang wajar.”

Padahal, papar Alissa, isu yang menyita perhatian besar publik itu mesti dibahas dengan wajar. Melibatkan lintas sektoral, mulai kelompok masyarakat sipil, akademisi, pegiat demokrasi, hingga aktivis antikorupsi. Tidak pula terkesan kejar-kejaran dengan masa tugas DPR yang hanya tersisa dua minggu. ’’Ini kan sangat melecehkan suara rakyat,” ujarnya.

Tidak hanya kejar tayang, Alissa juga menyoroti cara DPR yang sama sekali tidak melibatkan pimpinan KPK. Seharusnya legislator dan KPK duduk bersama membahas agenda tersebut. Sebab, komisioner KPK adalah pihak yang paling berkepentingan sebagai pelaksana undang-undang.

Sebetulnya, kata dia, upaya melemahkan KPK terjadi sejak lama. Termasuk di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, justru di era saat ini usulan revisi disetujui presiden. ’’Apa pun alasannya, ini sangat aneh. Tidak selayaknya terjadi kecuali memang diniatkan untuk melemahkan KPK,” tegasnya.

Ungkapan lebih tajam disuarakan Anita Wahid, putri Gus Dur lainnya. Melalui akun Twitter-nya, Anita menilai pelemahan KPK sudah di depan mata. Selain rangkaian revisi UU KPK yang memereteli kekuatan lembaga tersebut, ada hasil komposisi lima pemimpin KPK yang baru dipilih Komisi III DPR. ’’Selamat para koruptor, jalan kalian akan makin lancar dan terbuka lebar,” cuit Anita Wahid Jumat (13/9).

Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi menilai bahwa pembahasan revisi UU KPK cacat prosedur. Karena itu, sangat mungkin bakal ada gugatan. Dalam pasal 45 Undang-Undang 12/2011 dijelaskan bahwa pembahasan UU harus melewati perencanaan dan masuk prolegnas lebih dulu.

Dia menyayangkan presiden mengabaikan undang-undang tersebut dan malah memberikan mandat kepada Menkum HAM untuk melakukan pembahasan revisi. ’’Ketika DPR membuat kesalahan harusnya diingatkan dan diupayakan keseimbangan oleh presiden. Tapi, penyeimbangan tidak dilakukan dan malah bersepakat, ini melanggar UU,” tegas Fajri.

Menurut catatan PSHK, kasus pembahasan revisi UU seperti itu belum pernah ada sebelumnya. Dengan demikian, belum bisa diukur bagaimana dampak atau implikasi jika suatu produk undang-undang cacat prosedur kemudian disahkan. ’’Kalaupun dipaksakan selesai, pasti akan berakhir di MK,” lanjutnya.

Di bagian lain, DPR menyangkal anggapan bahwa pembahasan revisi UU KPK tidak melalui masukan publik. Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin mengatakan, tahap revisi sudah berjalan on the track. Pihaknya mengundang partisipasi publik sejak 9 September. Salah satu organisasi masyarakat sipil yang hadir adalah Indonesian Police Watch (IPW). ”Jadi, mekanisme itu sudah ditempuh sebelum revisi,” ucap Azis.

Sementara itu, Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menyatakan, pihaknya akan mengkaji dengan cermat draf revisi UU KPK. Sikap resmi partai akan disampaikan setelah menerima arahan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. ”Tentu nanti dikomunikasikan dengan Pak Prabowo. Substansinya seperti apa,” katanya.

Jika ada poin yang dinilai melemahkan fungsi KPK, pihaknya bakal tegas menolak. Sebab, sambung Riza, akar persoalan kerusakan negara adalah korupsi. ”Korupsi ini kan kejahatan yang luar biasa. Maka harus ditangani dengan luar biasa juga,” tuturnya.

Senada dengan Gerindra, PKS juga berjanji mengkaji secara serius revisi UU KPK. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan bahwa pemberantasan korupsi harus terus berjalan. Tidak boleh ada pelemahan atas tugas dan fungsi KPK. ”Kejahatan luar biasa sehingga harus ditangani dengan luar biasa juga,” tegasnya.

Menurut Mardani, UU 30/2002 tentang KPK masih efektif dalam menjalankan peran dan fungsi KPK. Keberadaan dewan pengawas, ujar dia, harus berfungsi melindungi KPK dari berbagai serangan untuk memperlemah KPK. Bukan justru melemahkan kerja KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. ”Dalam waktu dekat fraksi akan mengeluarkan sikap resmi,” katanya. (*)

Komentar