Digugat, Yasonna Klaim Asimilasi dan Integrasi Napi Tak Melawan Hukum

MORALRIAU.COM – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly meyakini, hakim dapat melihat kebijakan asimilasi dan integrasi narapidana memiliki dasar hukum dan berjalan sesuai ketentuan. Pernyataan ini menanggapi sidang perdana gugatan kebijakan asimilasi dan integrasi narapidana, terkait Covid-19 di Pengadilan Negeri Surakarta.

“Asimilasi dan integrasi terkait Covid-19 sudah berjalan dengan benar, dalam artian sesuai ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Permenkumham No 10 Tahun 2020 dan Kepmenkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020. Saya yakin hakim bisa melihat dengan jernih bahwa tidak ada unsur melawan hukum dari kebijakan ini serta pelaksanaannya,” kata Yasonna dalam keterangannya, seperti diberitakan Jawapos, Kamis (25/6).

Selain memiliki dasar hukum, politikus PDI Perjuangan ini mengklaim, program asimilasi juga dilakukan atas dasar kemanusiaan demi mencegah tersebarnya Covid-19 di dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas). Menurutnya, bila Covid-19 sampai masuk dan menyebar di lingkungan lapas/rutan yang over crowded, tidak memungkinkan dilakukan physical distancing sebagaimana prinsip pencegahan penularan virus korona.

“Kebijakan ini dilakukan atas dasar kemanusiaan sebagai upaya menyelamatkan narapidana yang juga punya hak untuk hidup sebagaimana manusia bebas lain,” tegas Yasonna.

Yasonna menyebut, mekanisme pengawasan terhadap narapidana yang dikeluarkan lewat program asimilasi dan integrasi Covid-19 berjalan efektif. Hal ini terlihat dari rasio narapidana asimilasi yang berulah kembali di masyarakat.

“Sejauh ini total narapidana dan anak yang dikeluarkan lewat program asimilasi dan integrasi terkait Covid-19 berjumlah 40.020 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 222 di antaranya terbukti melakukan pelanggaran ketentuan sehingga asimilasinya dicabut,” beber Yasonna.

Yasonna menuturkan, jika dihitung rasio narapidana asimilasi yang kembali berulah di masyarakat hanya 0,55 persen. Dia mengklaim, angka ini jauh lebih rendah dari tingkat residivisme pada kondisi normal sebelum Covid-19 yang bisa mencapai 10,18 persen.

“Tanpa mengecilkan jumlah tersebut, rendahnya tingkat pengulangan ini tak lepas dari pengawasan yang dilakukan terhadap narapidana asimilasi,” cetus Yasonna.

Menanggapi tudingan soal keresahan publik akibat kebijakan asimilasi narapidana, Yasonna menegaskan, masyarakat sudah semakin memahami alasan di balik program tersebut. Hal ini tak lepas dari upaya dalam memberi penjelasan ke publik, termasuk melakukan konfirmasi atas berita tidak benar terkait narapidana asimilasi.

“Semakin ke sini masyarakat semakin bisa melihat bahwa memang ada faktor kemanusiaan sebagai alasan dikeluarkannya kebijakan asimilasi dan integrasi terkait Covid-19, bahwa ini kebijakan yang harus dilakukan negara dalam menghadapi pandemi ini,” tukas Yasonna.

Sebagaimana diketahui, kebijakan Kemenkumham memberikan asimilasi dan integrasi kepada puluhan ribu narapidana sebagai upaya pencegahan penularan Covid-19 di lingkungan rutan/lapas, digugat oleh sekelompok advokat Kota Solo yang tergabung dalam Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997, Perkumpulan Masyarakat Anti Ketidakadilan Independen, serta Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia.

Gugatan itu dilayangkan kepada Kepala Rutan Kelas I A Surakarta, Jawa Tengah, sebagai tergugat I, Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Provinsi Jawa Tengah sebagai tergugat II, serta Menkumham sebagai tergugat III. (*)

Komentar